Sunday, December 27, 2009

Bekasi Pinggiran


Saya lahir di Bekasi 34 tahun lalu, tepatnya di Desa (sekarang jadi kelurahan) Jatikramat Kec Jati Asih. Lahir hingga lulus SD tinggal di Jatikramat, kemudian tercerabut ke Cempaka Putih jakarta hingga selesai kuliah hanya saya seorang diri, bapak, Ibu dan adik-adik saya tetap tinggal di jatikramat.

Saya mengalami masa kecil yang indah di desa (jatikramat) sekitar awal tahun 80’an sungai yang bening, sawah yang menghampar hingga terlihat Gunung Gede dan Salak di kejauhan. Pohon buah mulai dari durian hingga jambu bol bertebaran di kebun. Penduduk sebagian besar penggarap kebun bertanam pepaya, pisang serta yang punya sawah bertanam padi. Anak-anak kecil seusia bermain dengan Kebo di sawah, mencari ikan, belut di pematang, ketika sore mandi dikali yang berair jernih kemudian pulang untuk terus bersiap mengaji di langgar.

Bapak saya pun mengalami metamorfosis pekerjaan dari mulai penggarap kebun, membawa hasil kebun seperti buah-buahan, daun pisang batu, daun singkong dan lain-lain untuk dibawa ke pasar Perumnas Klender dengan sepeda ontel (sampai sekarang masih ada yang melakukan) kemudian menjadi Kuli bangunan seiring banyaknya pembangunan perumahan, tukang ojek ketika perumahan selesai hingga sekarang sebagai wiraswasta kecil-kecilan.

Adanya jalan tol Jakarta-Cikampek juga mempengaruhi akselerasi pembangunan disekitar Jatibening dengan indikasi harga tanah permeternya yang meningkat tajam.Kenaikan harga tanah ini membuat penduduk asli dengan tingkat pendidikan yang rendah terpaksa menjual tanahnya untuk berbagai kepentingan, mulai dari menyekolahkan anak (ini yang benar),pergi haji,ngawinin anak dan yang paling parah untuk membeli motor agar anaknya bisa ngojek serta kawin lagi.... Fenomena ini terus berlanjut hingga sekarang tanah yang tadinya luas sekarang berpindah tangan.

Sawah-sawah berubah menjadi komplek perumahan, sungai yang tadinya lebar,menyempit wajar saja ketika musim hujan tiba perumahan itu menjadi tempat pelarian air, disinilah fungsi RUTR yang seharusnya menjadi patokan untuk pembangunan diperhatikan tidak hanya mengejar pendapatan (PAD) atau pribadi (oknum).

Dulu ketika saya kecil ketika musim hujan senang sekali bila ada mobil masuk ke kampung karena pasti terjebak di tanah merah berlumpur seperti off road, anak-anak bantu mendorong mobil tersebut dan dapat upah. Bila tidak hujan jalanan mulus karena tanah merahnya halus terlindas ban mobil, anak-anak mencium tanah jalan tersebut setelah mobil lewat.
Keadaan sekarang? Jalanan sudah diaspal tidak ada lagi mobil terjebak dilumpur tanah merah, tapi setahun kemudian aspal bolong-bolong terkena air hujan, bahkan keadaan sekarang lebih parah mirip off road beneran. Mestinya kalo membangun jalan sekalian diperhatikan drainasenya tidak Cuma diaspal. Ada Teman dari Jogja pedalaman yang datang dan berkomentar”jalanan di jakarta kok kayak gini gak seperti di desa saya” jadi malu sebagai orang Bekasi.

Ketika saya kecil dipagi hari masih ada kabut yang turun, banyaknya pohon mengundang burung-burung. Bekasi sekarang puanaas terlebih dimusim kemarau dan dibeberapa titik sumur warga kering, hal ini tidak terjadi beberapa tahun lalu, burung-burung pun punah entah kemana. Peran pemerintah yang lebih hijau sangat diperlukan kebijakannya.
Warga asli banyak yang menebang pohon untuk dijual kayunya dan tidak ada tanaman pengganti. Apalagi bila tanah yang berpindah tangan tadi dibangun untuk rumah tinggal dan sekarang pembangunan cluster marak yang mengakibatkan banyak pohon hijau di tebang.

Saya sebagai penduduk asli Bekasi tidak merasakan adanya peran pemerintah disini, kami diperhatikan hanya bila ada pilkada dijanjikan ini itu tapi realisasinya? Nol besar.
Dalam hal pendidikan, anak-anak kampung sangat ketinggalan dengan pendatang, jurang semakin lebar. Sarana dan prasarana di SD sangat ketinggalan, lab komputer dengan jaringan internet gratis masih menjadi mimpi bagi anak-anak SD kampung yang berangkat jam 7 pagi jam 9 sudah pulang.
Sekolah gratis masih sebatas SPP, buku-buku dan peralatan lainnya mereka masih bingung membayarnya, Kenapa? Karena mereka hanya anak kampung yang bapaknya hanya tukang ojek, satpam perumahan ,kuli bangunan dan masyarakat marginal yang terpinggirkan karena pembangunan.

Oh ya saya sempet punya KTP Jakarta dan Bekasi, tapi KTP jakarta saya matikan karena cintanya saya terhadap Bekasi.
Bekasi memang mengalami kemajuan yang pesat 30 tahun trakhir tapi tidak bagi penduduk asli .......



NB:Tulisan ini dalam rangka undangan para bloggerbekasi kerumah walikota